Selesai mengenal Deli, sebuah
daerah di Indonesia, mendalami adat Minangkabau di Padang, serta kasta dan beda
bangsa yang meruntuh nilai. Hidup perlu terbuka, perlu BERANI MELANGGAR ADAT yang
ditentang agama, malah rasional akal juga tidak boleh menerima adat-adat yang
dangkal.
Payah hidup akan sentisa ada.
Usaha terus usaha, adalah pelincir jalanan hidup.
Sekarang bertemu
pulalah kesulitan dan gelombang yang lain kerana sudah demikian mestinya hidup
ini, habis kesulitan yang satu akan menimpa pula kesulitan yang lain. Kita
hanya beristirahat buat sementara, guna untuk mengumpulkan kekuatan menempuh
perjuangan yang baru dan mengatasinya.
Sebab itulah maka
tidak usah kita menangis pada waktu mendaki, sebab di balik puncak perhentian
pendakian itu telah menunggu daerah yang menurun. Hanya satu yang akan kita
jaga di sana iaitu kuatkan kaki supaya jangan tergelincir. Dan tak usah kita
tertawa pada waktu menurun kerana kelak kita akan menempuh pendakian pula yang
biasanya lebih tinggi dan menggoyahkan lutut daripada pendakian yang dahulu.
Dan barulah kelak
pada akhir sekali, akan berhenti pendakian dan penurunan itu, di satu sawang
luas terbentang bernama maut. Di sana akan bertemu alat datar, tak berpendakian
tak turun lagi.
Sedikit inti yang saya hidangkan
di sini, daripada buku Merantau Ke Deli karangan HAMKA.
Dan satu lagi yang ini.
“Duduklah dulu Poniem. Jawabmu
itu belum memuaskan hatiku. Apakah engkau melepas aku beristeri seorang lagi
dengan rela, dengan serela-rela hatimu? Izinkah engkau atau tidak? Katakanlah
terus-terang, Yem!”
;)
No comments:
Post a Comment